Efek Hukum Penunjukkan Pejabat Sementara Gubernur, Bupati dan Walikota

Pejabat Sementara (PJS) yang mengisi kekosongan Kepala Daerah selama lebih 2 (dua) tahun bisa MELANGGAR Undang-undang Pilkada, seperti Pasal 201 ayat (9) UU No. 10 Tahun 2016 menyatakan, penjabat itu hanya boleh memegang jabatan maksimal hanya 2 (dua) tahun. Penjabat itu akan menjalankan jabatannya selama 1 (satu) tahun kemudian boleh diperpanjang lagi setahun dengan orang yang sama ataupun berbeda namun maksimal hanya sampai 2 (dua) tahun.

Bahwa diketahui tahun 2022 ini ada 200 lebih daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang mulai diisi oleh penjabat, maka hampir bisa dipastikan mereka bakal mengisi jabatan kepala daerah lebih dari 2 (dua) tahun, karena Pilkada saja baru dilaksanakan di November 2024. Belum lagi adanya sengketa Pilkada yang saling menggugat, menunggu putusan MK, menunggu pelantikan dan lain sebagainya, ini persoalan hukum yang harus diperbaiki oleh  Pemerintah (Presiden) dan DPR.

Lain lagi dengan kewenangan kepala daerah yang menjabat sementara (bukan definitif), apakah dapat membahas rancangan peraturan daerah, menandatangani peraturan daerah, menentukan anggaran, serta melakukan pengisian kekosongan pejabat?

Tentu ini yang menjadi masalah, karena mata rantai perjalanan minta persetujuannya akan panjang dan antri menunggu jika penjabat sementara (Pjs) kepala daerah harus mendapatkan persetujuan yang tertulis dari Menteri Dalam Negeri untuk menjalankan tugas dan wewenangnya.

Bahwa terori kewenangan, penjabat sementara (Pjs) kepala daerah mendapatkan kewenangan melalui mandat yang bersumber dari kewenangan atributif dan delegatif dari Menteri Dalam Negeri. Berhubung penjabat sementara mendapatkan pelimpahan wewenang melalui mandat, maka seyogyanya penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama serta tanggung jawab keputusan akhir tetap berada pada pemberi mandat.

Hal ini perlu dalam proses pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan penggunaan fasilitas negara yang melekat pada penjabat sementara kepala daerah.

Bahwa demokrasi memberikan panduan dasar, pemerintahan harus berasal dan melibatkan rakyat dengan prinsip kedaulatan rakyat, bukan ditentukan oleh satu kekuatan pribadi, kelompok atau partai. Pemilu merupakan sarana bagi WNI memilih pemimpin yang memenuhi syarat untuk menentukan siapa yang akan menjalankan pemerintahan yang berkualitas, sehingga mereka yang tidak kompeten (hanya mendompleng nama besar keluarga, menggunakan finansial yang jor-joran, atau orang yang bermasalah) akan tersingkir dengan syarat yang maksimal dari KPU yang menegakan aturan yang ketat, tidak pandang bulu.

Jangan sampai Pemilu hanya menjadi instrumen stempel yang rapuh, karena ada beberapa petahana atau calon yang dianggap bermasalah justru punya peluang besar terpilih kembali. Dalam situasi seperti ini, Pemilu hanya sekedar ranah kompetisi untuk memilih kandidat yang sedikit buruknya dari pilihan yang tersedia.

Oleh karenanya, untuk mengisi kekosongan jabatan sementara Gubernur, syaratnya diangkat dari jabatan Pimpinan Tinggi Madya (Eseelon 1A atau selevel Dirjen di Kementerian), kemudian untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota diangkat pejabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan Tinggi Pratama (Eselon II), dan masa jabatan dalam ketentuan Pasal 201 ayat (9), UU No. 10 Tahun 2016 menegaskan, pejabat Gubernur, Bupati, dan Walikota masa jabatannya hanya 1 (satu) tahun, kemudian dapat diperpanjang 1 (satu) tahun berikutnya dengan orang yang sama atau berbeda.

Persoalan yang timbul pejabat sementara (Pjs) Gubernur, Bupati dan Walikota dengan kewenangan yang terbatas, padahal daerah otonom diberi kewenangan untuk melaksanakan, mengurus dan mengatur urusan rumah tangga daerah secara mandiri.

Daerah pasti dirugikan dalam konteks otonomi daerah, karena kewenangan pejabat tidak sama dengan pimpinan daerah yang definitif berdasarkan Pilkada. Janji konstitusi melalu amandemen UUD 1945 yang memberikan otonomi seluas-luasnya dan demokratisasi bagi daerah akan sulit diwujudkan. Yang justru nampak bukan membangun semangat otonomi daerah tetapi Sentralisasi ketika Pilkada ditarik ke tahun 2024, akan ada pejabat sementara Gubernur di +/- 7 Provinsi, dan +/- 247 pejabat Bupati dan Walikota.

Bagaimana hak rakyat terhadap kepemimpinan daerah, untuk otonomi daerah, dan kesejahteraan masyarakat di daerah, jika Pemerintah memaksakan dan mengangkat pejabat di 200 lebih daerah yang berakhir masa jabatannya. Ini tentu mencederai hak politik masyarakat di daerah, karena Pemerintah tidak konsisten dengan sikap yang pernah dilakukan pada Pilkada di masa pandemi Covid-19 yang tetap menyelenggarakan Pilkada pada 9 Desember 2020 yang lalu, yang tidak mau menunda Pilkada meski penolakan masyarakat meluas dengan alasan untuk menghormati PPKM dan PROKES (Protokol Kesehatan) yang gaungkan Pemerintah itu sendiri.

Kekuasaan harus ada legitimasi dari kehendak rakyat, setiap wewenang untuk memberikan perintah kepada orang lain harus berdasarkan tatanan dan yang disetujui oleh masyarakat. Pejabat akan dipandang kurang demokratis karena pilihan itu murni ditentukan oleh kekuasaan politik presiden, meskipun UU No. 10 Tahun 2016 menegaskan itu, Berbeda dengan perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang saat ini menjabat, dipandang lebih demokratis karena kepala daerah tersebut sebelumnya sudah dipilih oleh rakyat melalui Pilkada.

Amandemen UUD 1945, Pasal 18, 18 a dan b telah meletakkan fondasi hubungan pemerintah pusat dengan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang mengacu pada asas otonomi daerah. Dengan cara tersebut, harga diri masyarakat di daerah menjadi pertimbangan di dalam menentukan pemimpin di daerah, supaya masyarakat di daerah merasa mendapat apresiasi dan perhatian dari pemerintah pusat. 

Pasca amandemen bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak lagi sentralistik tetapi desentralistik. Sebagai sarana komunikasi politik, dalam konteks Pilkada, partai politik punya tanggungjawab untuk turut menciptakan Pilkada yang aspiratif, partisipatif, transparan, dan akuntabel. 

Sejatinya pemilik Pilkada dan pihak yang paling berkepentingan dengan proses suksesi pemimpinnya adalah Rakyat, namun dipandang sebelah mata, dan umumnya hanya didatangi dan disapa pada saat PEMILU (Pileg, Pilpres dan Pilkada).(BTL)

Oleh: Dahlan Pido, SH., MH. (Praktisi Hukum/Advokat Senior

Editor : Dyah Pitaloka

Related Posts