Shalat adalah ibadah wajib dikerjakan dalam Islam, terutama bagi orang yang sudah memenuhi persyaratan. Sebuah hadis menyebutkan, salat ialah amalan pertama yang dilihat (hisab) Allah di hari akhirat kelak (HR: Ibn Majah).
Hadis lain juga menyebut bahwa seorang kafir ialah yang meninggalkan shalat. Maka, shalat bisa dianggap menjadi perantara bagi seseorang untuk menjadi kafir.
"Antara hamba (mukmin) dan kafir ialah meninggalkan shalat" demikian berdasarkan Hadis Riwayat Ibnu Majah.
Dua hadis yang dikutip di atas menunjukkan betapa pentingnya mengerjakan shalat. Terlebih lagi, terdapat kesepakatan ulama bahwa salat termasuk kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Siapa pun yang sudah memenuhi persyaratan harus mengerjakan shalat dalam keadaan apa pun dan sesulit apa pun. Selain puasa, terdapat kewajiban pokok lain yang hukumnya setara dengan shalat, seperti haji dan zakat.
Lantas, bagaimana hukumnya bila mengerjakan puasa, tetapi tidak mengerjakan shalat? Apakah puasanya masih dianggap sah mengingat salat sebagai amalan utama dan pokok?
Untuk menjawab pertanyaan ini, alangkah baiknya bertanya terlebih dahulu kepada orang yang meninggalkan shalat tersebut apakah alasannya meninggalkan kewajiban.
Apakah karena mengingkari kewajiban atau lantaran malas. Sebab, keduanya memiliki implikasi hukum yang berbeda-beda.
Hukum Meninggalkan Sholat
Hasan Bin Ahmad al-Kaf dalam Taqriratus Sadidah fi Masail Mufidah menjelaskan, ada dua kondisi orang yang meninggalkan salat.
"Ada dua kondisi orang yang meninggalkan salat: meninggalkan salat karena mengingkari kewajiban dan meninggalkan shalat karena malas. Orang yang masuk dalam kategori pertama, maka ia dihukumi murtad. Sementara orang yang meninggalkannya karena malas, hingga waktunya habis, maka ia masih dikatakan muslim."
Berdasarkan pendapat ini, orang yang tidak mengerjakan shalat karena mengingkari kewajiban, puasanya batal secara otomatis. Sebab, dia sudah dianggap murtad. Sementara keluar dari Islam termasuk hal yang dapat membatalkan puasa.
Sementara puasa orang yang tidak mengerjakannya karena malas atau sibuk, statusnya masih muslim dan puasanya tidak batal secara esensial.
Meskipun puasanya tidak batal secara esensial atau secara hukum fikih tidak dianggap batal dan tidak wajib qadha, puasanya tidak bernilai apa-apa dan pahalanya berkurang.
Dalam Taqriratus Sadidah disebutkan: "Pembatalan puasa itu dibagi menjadi dua kategori: pertama, pembatalan yang merusak pahala puasa, namun tidak membatalkan puasa itu sendiri. Kategori ini dinamakan muhbithat (merusak pahala puasa) dan tidak diwajibkan qadha; kedua, sesuatu yang dapat membatalkan puasa dan merusak pahalanya. Bila melakukan ini tanpa udzur, maka wajib mengqadha puasa di hari lainnya. Kategori ini dinamakan mufthirat (membatalkan puasa)."