Penerapan Hukum Adat Yang Terjadi di Daerah Minangkabau Sumatera Barat

Indonesia merupakan Negara yang memiliki begitu banyak suku bangsa, Bahasa, dan agama. Salah satunya suku Minangkabau yang terletak di Pulau Sumatera tepatnya Sumatera Barat.

Nama Provinsi Sumatra Barat bermula pada zaman Vereenidge OOtindische Compagnie (VOC), di mana sebutan wilayah untuk kawasan pesisir barat Sumatra adalah Hoofdcomptoir van Sumatra's westkust.

Kemudian dengan semakin menguatnya pengaruh politik dan ekonomi VOC, sampai abad ke 18 wilayah administratif ini telah mencangkup kawasan pantai barat Sumatra mulai dari Barus sampai Inderapura.

Pada adat Minangkabau sistem kekerabatan yang diterapkan ialah sistem kekerabatan Matrilineal, dimana pada sistem kekerabatan matrilineal ini mengatur hubungan kekerabatan dari garis keturunan ibu. Dengan prinsip ini, seorang anak akan mengambil suku ibunya.

Garis keturunan ini juga mempunyai arti pada penerusan harta warisan, dimana seorang anak akan memperoleh warisan menurut garis ibu. Warisan yang dimaksud adalah berupa harta peninggalan yang sudah turun-temurun menurut garis ibu. Secara lebih luas, harta warisan (pusaka) dapat dikelompokkan dua macam, yaitu pusaka tinggi dan pusaka rendah.

Pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi dari ibu secara turun-temurun; sedangkan pusaka rendah adalah warisan dari hasil usaha ibu dan bapak selama mereka terikat perkawinan. Konsekwensi dari sistem pewarisan pusaka tinggi, setiap warisan akan jatuh pada anak perempuan, anak laki-laki tidak mempunyai hak memiliki hanya hak mengusahakan, sedangkan anak perempuan mempunyai hak memiliki sampai diwariskan pula kepada anaknya.

Seorang laki-laki hanya boleh mengambil sebagian dari hasil harta warisan sesuai dengan usahanya, sama sekali tidak dapat mewariskan kepada anaknya. Kalau ia meninggal, maka harta itu akan kembali kepada ibunya atau kepada adik perempuan dan kemenakannya.

Penerapan Hukum adat yang terjadi di suku Minangkabau sangat penting dan diakui. Seperti pada contoh adat Minangkabau terkhusus di daerah Pariaman. Pariaman adalah salah satu dari sedikit daerah di Tanah Minangkabau yang mempertahankan adat membeli laki-laki dalam tradisi pernikahan.

Tradisi membeli dengan sejumlah uang ini disebut dengan istilah bajapuik yang besarnya ditentukan oleh kedua belah pihak keluarga terkhususnya antara mamak (paman) pihak perempuan dan mamak (paman) pihak laki-laki. Tradisi bajapuik ini bukanlah tradisi mahar sebagaimana yang kita ketahui sebuah syarat yg ada dalam pernikahan, akan tetapi tradisi ini merupakan biaya yang harus dikeluarkan pihak perempuan untuk membawa lelaki masuk dan untuk tinggal dikeluarga pihak perempuan.

Tradisi ini termasuk kedalam unsur Adat Nan Diadatkan yang memang dapat berubah dan diubah dengan cara musyawarah. Tradisi ini mempunyai sanksi moral apabila tidak diterapkan dalam perkawinan. Bila ada perkawinan yang tak menyertakan uang japuik, maka akan dikenai ssnksi moral tersebut. Keluarga tersebut tentunya akan mendapat cemooh dari sanak keuarga dan teman-temannya, terutama dari mamaknya. 

Lalu keduanya mungkin bisa jadi tidak jadi menikah, kemudian dicap tidak beradat. Tetapi banyak sekarang di jumpai perkawinan yang tidak memakai adat uang japuik ini. Akan tetapi dalam prosesinya uang japuik tetap tetap di bunyikan untuk menghargai adat tersebut.

Selama ini orang-orang di luar suku Pariaman dan orang pariaman yang tak tahu akan budaya Pariaman ini menganggap bahwa bila ingin menikahi laki-laki di Pariaman, maka haru menjeputnya dengan sejumlah uang, bahkan ada pula yang mengatakan dengan bahasa kasar bahwa laki-laki tersebut dibeli.

Anggapan ini membuat geram tokoh adat Pariaman, namun memang anggapan tersebut telah tertanam dibenak masyarakat luas yang tak mengerti. Padahal tradisi bajapuik ini bertujuan untuk mengangkat derajat laki-laki di Pariaman, mereka dijemput untuk menghormati laki-laki tersebut yang akan menjadi anggota keluarga besar baru sang istri (urang sumando).

Penulis : Suci Utami Koto

Adalah mahasiswa Pendidikan PPKn Universitas Pamulang – Tangerang Selatan  – Tulisan ini untuk memenuhi Mata Kuliah “Hukum Adat”

Foto dari : hipwe

Editor : Dyah Pitaloka

Related Posts