Adanya Presidential Threshold (PT) 20% (Dua Puluh Persen) adalah kezaliman atau kejahatan politik. Membunuh hak partai kecil untuk dapat mengajukan Calon Presiden kecuali hanya dengan Koalisi. Koalisi itu sendiri adalah sarana kooptasi partai besar atas partai kecil. Atau secara tidak langsung merupakan bentuk pemaksaan. Pola pemaksaan dalam politik merupakan wujud dari sistem politik yang tidak sehat alias sakit.
Mahkamah Konstitusi telah menerima belasan gugatan untuk PT Dua Puluh Persen tersebut dan hebatnya seluruhnya ditolak. Alasan terbanyak adalah “legal standing” yang tidak tepat. MK ternyata memiliki pandangan yang sangat sempit dalam memahami pihak yang mengalami kerugian konstitusional. Partai politik peserta pemilu yang dirugikan, oleh karenanya partai politik atau gabungan partai politik itu saja yang berhak untuk menggugat. Sempit sekali cara pandang seperti ini.
Soal Pilpres bukan semata urusan partai politik tetapi urusan semua elemen warga negara. Karena hal ini menyangkut hak dipilih dan memilih. Dengan PT Dua Puluh Persen terjadi pembatasan hak konstitusional untuk dipilih dan memilih. Proses menjadi tidak demokratis dan tentu semua tahu bahwa maksud dan tujuan kita berkonstitusi itu bukan model pembatasan seperti ini.
PT Dua Puluh Persen hanya memperkuat oligarki atau menyuburkan cukong alias bandar. Pemilik kapital sangat leluasa untuk bermain dalam Pilpres. Mengatur pasangan dan mencurangi kemenangan. Tragedi 2019 akan terulang bahkan mungkin lebih brutal nanti pada Pilpres 2024. Jokowi sendiri memang tamat tetapi boneka baru segera bisa dibuat. Produk pabrik PT 20%.
Hakim MK 2019 telah mendapat “gratifikasi” perpanjangan sehingga akan mengadili kembali gugatan Pilpres 2024. Hakimnya itu-itu juga dan terbukti telah berprestasi dalam memenangkan oligarki melalui sukses Jokowi. Tak berguna kalaupun ada “dissenting opinion”. Hal itu hanya bagian dari kepura-puraan dalam berdemokrasi.
Dalam penerapan hukum Hakim MK telah memahami hukum secara sempit dan legistis atau berfilsafat legisme atau berfungsi hanya sebagai tukang tiup “terompet undang-undang”. Padahal semestinya Hakim dalam menerapkan hukum harus mampu membaca perasaan keadilan masyarakat. Ajaran legisme adalah ajaran kuno dan sudah lama ditinggalkan.
Paham Sociological Jurisprudence seperti yang dikemukakan Roescou Pound lebih layak untuk dianut apalagi jika sampai pada memahami hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat (law as a tool of social engineering) maka cara pandang Hakim Konstitusi yang positivis atau legistis dan tidak demokratis harus sudah dibuang ke keranjang sampah. PT Dua Puluh Persen adalah sampah politik, bau dan busuk.
Mempertahankan PT Dua Puluh Persen adalah suatu kejahatan politik dan catatan hitam hukum. Rekayasa oligarkis dalam membunuh demokrasi. Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjadi kumpulan para penjahat dan pembunuh itu.
Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)